Naxs samurai

Monday, October 22, 2007

Resensi

Membangun Otonomi Sekolah
Judul Buku: Otonomi Pendidikan

Penulis: Hasbullah
Oleh: Moh. Amin Nasrullah KI-MPI UIN Syarif Hidayatullah

KEHADIRAN otonomi daerah (otda) merupakan salah satu bagian untuk memeratakan dan meningkatkan mutu pendidikan. Dengan otda tersebut mengharuskan adanya reorientasi dan perbaikan sistem manajemen penyelenggaraan pendidikan. Salah satunya adalah pelaksanaan konsepsi school based management dan community based aducation.

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah mengharuskan adanya konsepsi di atas. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, hasilnya sampai saat ini belum memuaskan.

lokal, peningkatan kompetensi guru melalui berbagai latihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan masih banyak lagi.

Namun, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti, dan masih adanya kesenjangan peningkatan mutu pendidikan. Di kota-kota menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang pesat, tetapi di lain sisi ada yang masih memprihatinkan apalagi sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil.

Sejak digulirkannya reformasi dengan diundangkannya UU Otda, UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (yang disempurnakan menjadi UU No 32/2004 dan UU No 33/2004), maka lahirlah desentralisasi.

Tetapi bentuk otonomi dalam bidang pendidikan berbeda dengan otonomi bidang lainnya, karena dalam Otonomi Pendidikan tidak berhenti pada daerah tingkat kabupaten dan kota, tetapi langsung kepada sekolah sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan. Salah satu model otonomi pendidikan ini dikenal dengan manajemen berbasis sekolah (MBS).

MBS, sebagai konsep dasar pendidikan masa kini, merupakan konsep manajemen sekolah yang memberikan kewenangan, kepercayaan, dan tanggung jawab yang luas bagi sekolah berdasarkan profesionalisme untuk menata organisasi sekolah, mencari, mengembangkan dan mendayagunakan sumber daya pendidikan yang tersedia, serta memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan.

Sementara itu, community based education merupakan konsepsi yang memberikan keleluasaan kepada masyarakat agar ikut serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi layanan pendidikan. Misalnya, swasta merupakan salah satu bentuk community based education.

Selain memberikan rasa memiliki bagi masyarakat terhadap sekolah yang dibinanya, community based education juga menciptakan iklim keterbukaan, dan memberikan kontrol bagi sekolah dalam mengelola sumber daya dan mutu pendidikan yang diinginkan.

Untuk melaksanakan otonomi daerah, school based management dan community based education, pemerintah telah melaksanakan serangkaian kebijakan untuk mendukung pelaksanaan otonomi di bidang pendidikan ini, seluruh kegiatan proyek pembangunan diarahkan untuk mendukung capacity building daerah kabupaten/kota dan bermuara langsung pada kegiatan pendidikan di sekolah.

Sumber daya pendidikan diarahkan untuk dapat digunakan langsung oleh sekolah dalam bentuk grant (imbal swadaya), dana bantuan operasional (DBO), bantuan operasional manajemen mutu (BOMN), bantuan operasional sekolah (BOS), pembangunan ruang kelas baru (RKB), perpustakaan, laboratorium dalam upaya memberikan kepercayaan kepada sekolah untuk meningkatkan kinerjanya.

Kehadiran MBS di Indonesia, di satu sisi merupakan suatu pembaruan dalam rangka peningkatan kualitas dan demokratisasi pendidikan serta disambut baik oleh pelaku dan penyelenggara pendidikan, namun di sisi lain masih mengundang kritik dan permasalahan yang harus menjadi perhatian utama pengelola pendidikan baik di tingkat kabupaten/kota maupun pada level pemerintah pusat.

Upaya untuk menghindari hal ini memang cukup rumit, karena pelaku-pelaku penyimpangan telah menyelinap sedemikian rupa dengan 'lihainya' dalam berbagai posisi yang dilewati dana penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu, setiap adanya upaya penyaluran dana yang bersifat bantuan tersebut selalu mengundang perhatian dan kekhawatiran dari banyak pihak.

Sebagai karya yang mengusung tema pendidikan, buku ini tepat menjadi bahan kajian dalam menentukan kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan (sekolah). Selain itu, karya ini juga menyuguhkan undang-undang guru dan dosen sebagai pijakan untuk menata nasib masa depan guru dan dosen yang lebih baik. Mujtahid, dosen Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.lokal, peningkatan kompetensi guru melalui berbagai latihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan masih banyak lagi.

Namun, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti, dan masih adanya kesenjangan peningkatan mutu pendidikan. Di kota-kota menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang pesat, tetapi di lain sisi ada yang masih memprihatinkan apalagi sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil.

Sejak digulirkannya reformasi dengan diundangkannya UU Otda, UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (yang disempurnakan menjadi UU No 32/2004 dan UU No 33/2004), maka lahirlah desentralisasi.

Tetapi bentuk otonomi dalam bidang pendidikan berbeda dengan otonomi bidang lainnya, karena dalam Otonomi Pendidikan tidak berhenti pada daerah tingkat kabupaten dan kota, tetapi langsung kepada sekolah sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan. Salah satu model otonomi pendidikan ini dikenal dengan manajemen berbasis sekolah (MBS).

MBS, sebagai konsep dasar pendidikan masa kini, merupakan konsep manajemen sekolah yang memberikan kewenangan, kepercayaan, dan tanggung jawab yang luas bagi sekolah berdasarkan profesionalisme untuk menata organisasi sekolah, mencari, mengembangkan dan mendayagunakan sumber daya pendidikan yang tersedia, serta memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan.

Sementara itu, community based education merupakan konsepsi yang memberikan keleluasaan kepada masyarakat agar ikut serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi layanan pendidikan. Misalnya, swasta merupakan salah satu bentuk community based education.

Selain memberikan rasa memiliki bagi masyarakat terhadap sekolah yang dibinanya, community based education juga menciptakan iklim keterbukaan, dan memberikan kontrol bagi sekolah dalam mengelola sumber daya dan mutu pendidikan yang diinginkan.

Untuk melaksanakan otonomi daerah, school based management dan community based education, pemerintah telah melaksanakan serangkaian kebijakan untuk mendukung pelaksanaan otonomi di bidang pendidikan ini, seluruh kegiatan proyek pembangunan diarahkan untuk mendukung capacity building daerah kabupaten/kota dan bermuara langsung pada kegiatan pendidikan di sekolah.

Sumber daya pendidikan diarahkan untuk dapat digunakan langsung oleh sekolah dalam bentuk grant (imbal swadaya), dana bantuan operasional (DBO), bantuan operasional manajemen mutu (BOMN), bantuan operasional sekolah (BOS), pembangunan ruang kelas baru (RKB), perpustakaan, laboratorium dalam upaya memberikan kepercayaan kepada sekolah untuk meningkatkan kinerjanya.

Kehadiran MBS di Indonesia, di satu sisi merupakan suatu pembaruan dalam rangka peningkatan kualitas dan demokratisasi pendidikan serta disambut baik oleh pelaku dan penyelenggara pendidikan, namun di sisi lain masih mengundang kritik dan permasalahan yang harus menjadi perhatian utama pengelola pendidikan baik di tingkat kabupaten/kota maupun pada level pemerintah pusat.

Upaya untuk menghindari hal ini memang cukup rumit, karena pelaku-pelaku penyimpangan telah menyelinap sedemikian rupa dengan 'lihainya' dalam berbagai posisi yang dilewati dana penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu, setiap adanya upaya penyaluran dana yang bersifat bantuan tersebut selalu mengundang perhatian dan kekhawatiran dari banyak pihak.

Sebagai karya yang mengusung tema pendidikan, buku ini tepat menjadi bahan kajian dalam menentukan kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan (sekolah).

Monday, October 1, 2007

Validitas

Validitas atau kesahihan menunjukan pada kemampuan suatu instrumen (alat pengukur) mengukur apa yang harus diukur (…. a valid measure if it succesfully measure the phenomenon), seseorang yang ingin mengukur tinggi harus memakai meteran, mengukur berat dengan timbangan, meteran, timbangan merupakan alat ukur yang valid dalah kasus tersebut. Dalam suatu penelitian yang melibatkan variabel/konsep yang tidak bisa diukur secara langsung, maslah validitas menjadi tidak sederhana, di dalamnya juga menyangkut penjabaran konsep dari tingkat teoritis sampai tingkat empiris (indikator), namun bagaimanapun tidak sederhananya suatu instrumen penelitian harus valid agar hasilnya dapat dipercaya.

Mengingat pentingnya masalah validitas. Maka tidak mengherankan apabila Para Pakar telah banyak berupaya untuk mengkaji masalah validitas serta membagi validitas ke dalam beberapa jenis, terdapat perbedaan pengelompokan jenis-jenis validitas, Elazar Pedhazur menyatakan bahwa validitas yang umum dipakai tripartite classification yakni Content, Criterion dan Construct, sementara Kenneth Bailey mengelompokan tiga jenis utama validitas yaitu : Face validity, Criterion Validity, dan construct validity, dengan catatan face validity cenderung dianggap sama dengan content validity. Berikut ini akan dikemukakan beberapa jenis validitas yaitu :

Validitas Rupa (Face validity). Adalah validitas yang menunjukan apakah alat pengukur/instrumen penelitian dari segi rupanya nampak mengukur apa yang ingin diukur, validitas ini lebih mengacu pada bentuk dan penampilan instrumen. Menurut Djamaludin Ancok validitas rupa amat penting dalam pengukuran kemampuan individu seperti pengukuran kejujuran, kecerdasan, bakat dan keterampilan.

Validitas isi (Content Validity). Valditas isi berkaitan dengan kemampuan suatu instrumen mengukur isi (konsep) yang harus diukur. Ini berarti bahwa suatu alat ukur mampu mengungkap isi suatu konsep atau variabel yang hendak diukur. Misalnya test bidang studi IPS, harus mampu mengungkap isi bidang studi tersebut, pengukuran motivasi harus mampu mengukur seluruh aspek yang berkaitan dengan konsep motivasi, dan demikian juga untuk hal-hal lainnya. Menurut Kenneth Hopkin penentuan validitas isi terutama berkaitan dengan proses analisis logis, dengan dasar ini Dia berpendapat bahwa validitas isi berbeda dengan validitas rupa yang kurang menggunakan analisis logis yang sistematis, lebih lanjut dia menyatakan bahwa sebuah instrumen yang punya validitas isi biasanya juga mempunyai validitas rupa, sedang keadaan sebaliknya belum tentu benar.

Validitas kriteria (Criterion validity). Adalah validasi suatu instrumen dengan membandingkannya dengan instrumen-pengukuran lainnya yang sudah valid dan reliabel dengan cara mengkorelasikannya, bila korelasinya signifikan maka instrumen tersebut mempunyai validitas kriteria. Terdapat dua bentuk Validitas kriteria yaitu : Validitas konkuren (Concurrent validity), Validitas ramalan (Predictive validity). Validitas konkuren adalah kemampuan suatu instrumen pengukuran untuk mengukur gejala tertentu pada saat sekarang kemudian dibandingkan dengan instrumen pengukuran lain untuk konstruk yang sama. Validitas ramalan adalah kemampuan suatu instrumen pengukuran memprediksi secara tepat dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Contohnya apakah test masuk sekolah mempunyai validitas ramalan atau tidak ditentukan oleh kenyataan apakah terdapat korelasi yang signifikan antara hasil test masuk dengan prestasi belajar sesudah menjadi siswa, bila ada, berarti test tersebut mempunyai validitas ramalan.

Validitas konstruk (Construct Validity). Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep, validitas konstruk adalah validitas yang berkaitan dengan kesanggupan suatu alat ukur dalam mengukur pengertian suatu konsep yang diukurnya. Menurut Jack R. Fraenkel validasi konstruk (penentuan validitas konstruk) merupakan yang terluas cakupannya dibanding dengan validasi lainnya, karena melibatkan banyak prosedur termasuk validasi isi dan validasi kriteria.

Lebih jauh Jack R. FraenkelI meneyatakan bahwa untuk mendapatkan validitas konstruk ada tiga langkah di dalamnya yaitu :

Variabel yang akan diukur harus didefinisikan dengan jelas

Hipotesis, yang mengacu pada teori yang mendasari variabel penelitian harus dapat membedakan orang dengan tingkat gradasi yang berbeda pada situasi tertentu

Hipotesis tersebut diuji secara logis dan empiris.

Dalam upaya memperoleh validitas konstruk, maka seorang peneliti perlu mencari apa saja yang menjadi suatu kerangka konsep agar dapat menyusun tolok ukur operasional konsep tersebut. Pencarian kerangka konsep menurut Djamaludin Ancok dapat ditempuh beberapa cara :

Mencari definisi-definisi konsep yang dikemukakan oleh para akhli yang tertulis dalam buku-buku literatur.

Mendefinisikan sendiri konsep yang akan diukur, jika tidak diperoleh dalam buku-buku literatur

Menanyakan definisi konsep yang akan diukur kepada calon responden atau orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden.

Mengingat pentingnya pendefinisian suatu konsep yang ingin diukur, maka seorang peneliti perlu mencermatinya, sebab definisi suatu konsep perlu dikembangkan dari mulai definisi teoritis, definisi empiris, sampai definisi operasional (dapat dipadankan dengan konsep teori, konsep empiris, konsep analitis/operasional, atau dengan konsep, dimensi, dan indikator) pemahaman definisi tersebut dapat dijadikan awal yang strategis untuk penjabaran konsep sampai diperoleh indikator, untuk kemudian disusun item-item yang diperlukan untuk sebuah instrumen penelitian.

Sementara itu Elazar J. Pedhazur mengemukakan tiga pendekatan dalam Validasi konstruk yaitu : 1). Logical analysis; 2). Internal structure analysis; 3). Cross-structure analysis. Analisis logis dalam konteks validasi konstruk dimaksudkan untuk membentuk hipotesis pembanding sebagai alternatif penjelasan berkaitan dengan konstruk/konsep yang akan diukur, hubungan antar konsep dan yang sejenisnya. Dalam pendekatan ini langkah yang diperlukan adalah pendefinisian konstruk/konsep, penentuan kesesuaian isi item dengan indikator, serta penentuan prosedur pengukuran.

Analisis struktur internal merupakan pendekatan kedua dalam validasi konstruk, analisis ini berkaitan dengan validitas indikator dari suatu konsep/konstruk, artinya indikator-indikator yang digunakan bersifat homogin (dalam tingkatan minimum) serta mengukur konsep yang sama (terdapatnya kesesuaian antara indikator-indikator dengan konsepnya).Sementara itu analisis struktur silang berkaitan dengan pengkajian analisis internal dari masing-masing konsep terhubung (yang unobservable) yang dihubungkan pada tataran empirisnya (indikator), sebab pada tataran inilah suatu hipotesis diuji.

2.3.1.1. Perhitungan/pengujian Validitas Instrumen

Apabila langkah-langkah tersebut di atas telah dilakukan, paling tidak langkah penjabaran konsep yang kemudian diikuti dengan penyusunan item-item instrumen, maka perhitungan statistik dapat dilakukan untuk perhitungan/pengujian validitas instrumen pengukuran. Perhitungan ini dimaksudkan untuk mengetahui konsistensi internal (sering juga disebut validitas item atau discriminating power/daya diskriminasi item), dalam arti sampai sejauh mana item-item mampu membedakan antara individu yang memiliki dan tidak memiliki sifat dari item pengukuran, hal ini berarti juga bahwa item-item dalam instrumen mengukur aspek yang sama. Dalam hubungan ini langkah yang dilakukan adalah dengan cara mengkorelasikan antara skor tiap item dengan skor total.

Dalam melakukan perhitungan korelasi antara skor item dengan skor total dapat menggunakan rumus korelasi Product moment apabila nilai-nilai skala telah dilakukan konversi menjadi interval (atau secara langsung dianggap interval dengan mengacu pada pendapat bahwa nilai skala dapat diperlakukan sebagai data interval), atau menggunakan rumus korelasi tata jenjang (Rank-Spearman). Untuk memperjelas cara perhitungannya berikut ini akan dikemukakan contoh perhitungan korelasi Product momen (cara perhitungan dengan berbagai variasi dapat dilihat dalam Bab 4) dan korelasi tata jenjang Spearman.

Sebuah instrumen penelitian/pengukuran terdiri dari 10 item dan disebarkan pada 10 orang responden dengan hasil skor seperti dalam tabel 2.2. perhitungan korelasi dilakukan untuk tiap item dari item nomor 1 sampai item no 10, untuk contoh perhitungan akan diambil item no 2